Jangan menilai orang "hanya" dari penampilannya.
Quote diatas betul banget, gw setuju.
Tapi kenapa gw highlight kata "hanya" disini, karena biar gimanapun penampilan tetap akan menjadi salah satu faktor penilaian first impression kita terhadap seseorang.
Quote diatas gw rasa muncul supaya kita mampu menghargai mereka yang karena berbagai macam faktor, tidak mampu membeli baju yang layak.
Jadi.. bukan malah dijadikan pembenaran untuk mereka yang mampu, tapi memilih berpenampilan semaunya saja tanpa memikirkan etika, waktu, sikon dan aturan setempat.
Ya gak mungkin dong gue dateng ke interview kerja pake baju tidur,
Atau pake tanktop sama hotpants jalan-jalan ke pasar becek deket rumah.
Seperti halnya temen gue, dia nyaman aja bikinian dengan bawahan sarung ketika holiday di Bali. Begitu balik Jakarta, gak bakalan dia nyaman pake outfit kayak gitu jika situasinya di pantai Ancol π π.
Ketemu CaMer juga pasti penampilan lo lebih rapih dan sopan dari biasanya.
Jadi, kalau ada cewe marah2 di catcall pas beli makanan di warung lele malem2 di ujung gang rumahnya, disuit-suitin karena pakaiannya yg "mengundang" alias kurang bahan..
salah siapa? Ya salah dua-duanya, yang catcall dan cewe itu sendiri.
--
Tampil apa adanya itu bukan berarti kita melupakan etika dan respect terhadap orang lain.
Kalo ada temen dateng ke tempat gw, karena gw menghargai, pasti gw mandi dulu, dan pake baju rapih.
Terus gimana dengan mereka yang ke bank, ke mall, ke showroom mobil pake baju kucel lancai rumahan banget?
Ya gak ada aturannya juga kan, kalo belanja kudu pake baju kondangan π. Selama pakaiannya tetep sopan dan lagipula disini posisi kita mau belanja, ya bebas-bebas aja itu mah.
--
Nah lucunya, seringkali gw menemukan para wanita yang sering menyuarakan kebebasan berekspresi, justru malah menyudutkan wanita yang berhijab dan bercadar.
Mungkin faktor why-nya karena mereka sendiri merasa di"paksa" menutup aurat karena syariat agamanya.
Ya tapi kan, bukan berarti lantas mengeneralisir seakan SEMUA wanita yang menutup rambut dan auratnya itu melakukannya dengan terpaksa.
Faktor kan bisa macam-macam, menutup aurat karena respect terhadap ajaran agamanya, karena cintanya terhadap Allah pencipta, dan hal-hal lain yang memang sudah menjadi belief system keyakinannya.
Bukankah hal ini sudah memenuhi syarat kebebasan berekspresi? dimana mereka mau mengekspresikan hormat dan cinta mereka kepada Allah dengan cara menutup aurat.
"Respect terhadap Allah kok mesti kayak gitu"
Gini, value bisa sama, tapi perilakunya kan gak mesti sama.
Value penggeraknya adalah cinta dan respect terhadap Tuhan.
Perilaku alias caranya tentu saja tiap agama bisa berbeda-beda.
Cara kita respect terhadap ortu pun bisa beda-beda. Ada yang menunjukkan respectnya ketika ortunya datang berkunjung, dengan langsung salim tangan, tapi ada juga yang sudah siap dengan aneka makanan kesukaan ortu di meja makan.
Jadi kenapa pula harus memaksakan cara kita ke orang lain,
ya jadi standard ganda toh.. jika mereka-mereka yang menyuarakan kebebasan berekspresi, tapi mengecam kebebasan berekspresi para wanita yang lebih merasa damai dan nyaman ketika berhijab/cadar.
Standard Ganda? atau memang gak punya standard?.
----
Well anyway, gw beberapa tahun silam pernah debat soal ini juga, dan gw inget dia debat bilang
"gimana dengan mereka yang dari kecil sudah dipaksa berhijab?, ini kan bukan pilihan mereka!"
Kadang-kadang gw jadi gemes sendiri, ya gw jawab
"elo ngomong gitu mangnya karena anaknya komplen curhat ke elo? Gw yakin nggak, asumsi lo aja itu.
Terus ntar kalo anak lo usia sekolah, ngotot ke sekolah gak mau pake seragam, what will u do?
Lo iyain aja pakein baju bebas?
Semua ortu menginginkan yg terbaik buat anaknya, jika ortunya "memaksa" anaknya yang masih kecil utk berhijab, ya karena keyakinan mereka juga. Kita tentunya memberikan dan mengajarkan yang baik "menurut kita" ke anak sendiri. Mulai dari ngasih sayur, padahal anaknya gak suka, ngasih vitamin, ya segala macem lah."
-----
Banyak sih hal-hal absurd lain yang sering didebatkan netizen di medsos selain penampilan.
Kadang gw sampe terbersit di otak pengen bikin akun klonengan buat bales2in komennya ππ
Kayak:
"udah banyak duit kok masih cari duit?"
Lah menurut lo dia bisa banyak duit karena apa? Ya karena hobby dan pinter cari duit. Terus aturan dari mana seh kalau orang kaya itu kudu diem aja gak boleh kerja lagi.
--
"Kalau beneran bisnisnya segede itu, gak mungkin lah masih gabut posting ini itu di medsos"
--
Nah, Standard Ganda kan jadinya?
Duit banyak katanya gak usah cari duit lagi, ya gabut dong:. Masa gak boleh maenan medsos πππ.
--
"Ngapain lo belajar bisnis sama dia? Belajar tuh sama yang udah terbukti tajir, mobil sultannya banyak, rumahnya dimana mana"
"Kalau dia terbukti bisa bikin orang jadi sukses, dia kok masih gitu-gitu aja hidupnya?"
Yang pernah ngomong macam ini nih ya, mungkin gak mudeng kalo faktor Why, tujuan dan Value tiap orang dalam berperilaku itu beda-beda. Valuenya sama pun, perilakunya juga bisa berbeda.
Kemarin ini gw ngobrol sama Mba Nia, CEO-nya Human Plus, beliau menjelaskan,
Value menggerakkan perilaku, namun meskipun valuenya sama, perilakunya bisa berbeda. Contoh: Valuenya sama-sama respect terhadap ortu, tapi cara/perilaku A dan B menunjukkannya terhadap ortunya berbeda.
Value berbeda tapi perilakunya sama, ini pun bisa terjadi. Perilakunya sama-sama sedekah utk korban bencana, tapi didorong dengam value yang berbeda, si A memang valuenya murni sosial, sementara si B didorong value ingin pamer.
Jadi, buat elo yang udah pada sukses, dan sempet komen kayak diatas, coba deh dateng ke sekolah lo dulu, ketemuin guru SMP, SMA, atau dosen kuliah lo.
Tanya ke mereka "bapak/ibu adalah salah satu orang yang menjadikan saya bisa sukses seperti ini, tapi saya heran, kok bapak/ibu hidupnya masih sama aja kayak dulu?"
Palingan mereka geleng-geleng kepala pas elo tanya gitu ππ.
Baiklah, udah kepanjangan nulisnya.
Gitu aja.
Comments
Post a Comment